Ketawakkalan Alfin Dalam Puisi Do’a

 Karya: A.A.Fifi

Puisi Do’a karya Alfin Robert ini sepertinya layak kita telaah lebih dalam lagi.  Puisi ini selain berisi penghambaan diri sang penyair yang begitu besar, juga berisikan harapan yang begitu dalam dari sang penyair. Ada ekspresi tawakal dan optimisme yang begitu dalam.

Dengan latar belakang santri, tentu tidak heran jika puisi bertema religius. Dengan Sense pengharapan seorang aku lirik agar dapat terus berkarya. Puisi ini benar-benar cocok dijadikan sebagai pembukaan perdana situs Lorong Karya. Mengingat semangat para perintis untuk selalu berkarya tanpa pernah mengenal lelah.

Agar tidak terlalu lama, marilah kita menguliti puisi “Do’a” karya Alfin Robert ini. Namun sebelumnya perlu diketahui, jika tulisan ini berusaha untuk melihat karya Alfin secara objektif, walaupun sedikit banyak memasukkan aspek kultural penyair.

Puisi ini diawali dengan diksi “Tuhanku” yang memberikan imaji seorang hamba yang tengah bercakap dengan “Tuhan”. Kata “Bila waktu tiba/izinkan aku tertawa lepas” sebenarnya berisi tentang harapan dari sang aku lirik kepada tuhannya. Aku lirik menginginkan agar waktu (Entah waktu apa yang dia inginkan) itu segera tiba sehingga aku lirik bisa tertawa dengan lepas.

“Tertawa lepas” merupakan bahasa figuratif metopotamia dari kebahagiaan yang ingin dicapai oleh aku lirik. Tertawa lepas merupakan simbol yang digunakan oleh penyair untuk mewujudkan imaji riang gembira bagi pembaca. Seolah waktu yang ditunggu aku lirik merupakan beban bagi pikirannya. Beban tersebut akan segera tumpah setelah waktu itu tiba. Rasa penuh pengharapan begitu jelas ter gambarkan dalam diksi tersebut.

Kemudian pemilihan diksi “Izinkan” menunjukkan kerendahan sang aku lirik kepada tuhannya. Pada diksi ini, dapat dipastikan bahwa aku lirik merupakan orang yang begitu takwa kepada Tuhan. Aku lirik tidak ingin agar segala bentuk kebahagaiaannya melebihi batas kewajaran. Sehingga membuat Tuhan murka.  Selain itu, kata “izinkan” merupakan bukti bahwa aku lirik merupakan hamba yang begitu taat.

Kemudian diksi “Dengan tubuh yang lemas dan keras” dipilih untuk memperkuat imaji dalam diri pembaca. Namun perlu di telaah lagi, terdapat dua paradok disana. Antara tubuh yang lemas dan keras. Mungkin diksi “lemas” dipilih, untuk menggambarkan kelemahan sang aku lirik di hadapan tuhannya. Aku lirik merasa lemas karena mendapati dirinya yang harus mempertanggung jawabkan pemberian Tuhan tersebut. Sementara diksi “keras” dipergunakan untuk menunjukkan kemantapan sang aku lirik untuk bertanggung jawab pada “waktu” yang sudah tiba.

Mungkin penyair merupakan penganut filsafat eksistensialisme dalam hal ini. Dimana manusia merasa cemas setelah terlempar pada suatu kenyataan, lalu kemudian dengan sikap optimisme manusia tersebut akan senantiasa berkuat diri untuk menentukan pilihannya. Lalu kemudian, pilihan itu dia pertanggung jawabkan pada dirinya sendiri dan orang lain.

Pada diksi “Sampai bila hari itu datang/ Biarkan aku menjelma ketenangan/ Dalam derap kuasamu” merupakan ungkapan yang menunjukkan ketawakalan yang begitu besar dalam diri aku lirik. Diksi “Dalam derap kuasamu”  merupakan penyerahan diri dan penghambaan dari aku lirik kepada tuhannya. Setelah aku lirik merasa “lemas” dan “keras,” aku lirik kemudian menyerahan segala urusannya di hadapan sang Tuhan yang begitu berkuasa dalam pandangan aku lirik.

Mungkin pada diksi ini, penyair berusaha untuk memasukkan makna dari kata “La haula wala kuwata illa billah,” kedalam puisinya. Secara harfiah kata tersebut bermakna, tiada upaya dan kekuatan kecuali dari Allah SWT. Namun menurut Syaikh Salim Bin Sumair dalam kitab Safinatu al najah, kata “La haula wala kuwata illa billah,” bermakna, tiada upaya untuk berbuat baik dan tiada kekuatan untuk meninggalkan maksiat, kecuali dari Allah SWT. Pemaknaan kata tersebut bisa ditemukan dalam diksi “Biarkan aku menjelma ketenangan/ Dalam derap kuasamu.”

Kemudian kita akan menemukan harapan sang penyair yang selanjutnya dalam puisi-puisinya pada diksi selanjutnya. Penyair menginginkan untuk mendapatkan berkah keilahian dalam setiap puisinya sehingga akan selalu menyala. Kata “api” pada diksi “Dalam api di sebait puisi,” merupakan figuratif dari semangat sang penyair. Semangat yang menggelora untuk terus berkarya. Kata “menyala” merupakan figuratif yang melambangkan semangat yang tak pernah padam dan terus berkarya. Harapan itu akan senantiasa ada “Berkelanjutan.”


Kontributor Lorong Karya

Lorong Karya berdiri sejak tanggal 23 Juni 2023. Blog ini berada dibawah tanggung jawab UKM Seni dan Budaya KALA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama